Sejak usia 24 tahun ia telah menjadi pengelola Masjid Polder, sebuah posisi yang tak biasa bagi seorang wanita muda dalam dunia Islam.
Sejak usia 24 tahun ia telah menjadi pengelola Masjid Polder, sebuah posisi yang tak biasa bagi seorang wanita muda dalam dunia Islam.
Keberadaan Masjid Polder memiliki peran besar dalam mensosialisasikan ajaran Islam. Termasuk dalam rangka mengatasi xenophobia, juga Islamophobi.
Di bawah kepemimpinan Yassmine, masjid ini berada di garis depan untuk menemukan gaya Islam Eropa.
Islam menjadi mudah diakses pemuda muslim yang lahir di masyarakat sekuler dan menjadikan muslim lebih dapat diterima masyarakat sekitar.
Sebagai pengelola, Yassmine selalu mencoba menemukan imam yang mencerminkan keragaman budaya di komunitas muslim Amsterdam, termasuk khotib asal Malaysia, Indonesia, begitu pula Maroko dan Turki, asal sebagaian besar muslim Belanda.
Seorang guru besar kajian Islam dari Universitas Glasgow, Mona Siddiqui, mengatakan, seperti dilansir AP, muslim di Eropa kini menggunakan cara baru mengenalkan Islam dan komunitas mereka, jauh dari cara-cara tradisional, yang kadang sangat menekan anggotanya. “Cara itu sesungguhnya baik, namun saya tak yakin bahwa cara tersebut cukup signifikan, lantaran begitu banyak perbedaan pada komunitas muslim sendiri di Eropa.”
Di bawah kepemimpinan Yassmine, Masjid Polder di Amsterdam juga memperoleh kemajuan dalam keuangan. Padahal, demi kemandirian, masjid itu menolak sumbangan dari luar negeri. “Itu salah satu prinsip kami,” ujar Yassmine.
Masjid yang dikelola Yassmine berbentuk sederhana, yakni bangunan satu lantai bekas gedung pusat pertemuan warga, terletak di tengah-tengah apartemen. Lingkungan tersebut memang dihuni mayoritas warga muslim.
Kaum muda, beberapa berjenggot dan kumis, berpakaian tunik, sebagian yang lain berpakaian ala Barat, bercampur bersama di dalam masjid hingga pintu masuk, setiap kali shalat Jum’at digelar.
Masjid yang Yassmine kelola memberi ruang untuk dialog antar-pemeluk agama atau keyakinan. Marloes Kuijer, wanita Belanda non-muslim yang juga anggota dewan direktur Dialog antar-Keyakinan, merasa sangat enjoy mengikuti dialog tersebut. Meski bukanlah muslim, ia merasa nyaman seperti di rumah sendiri, lantaran perbedaan agama dan budaya tak menjadi halangan di tempat itu, sebaliknya malah semakin mendekatkan.
Masjid tersebut juga terbuka untuk setiap muslim dengan berbagai sudut pandang, termasuk para simpatisan “jihadis” bahkan kelompok radikal. “Kami tidak mendiskriminasi. Kita harus membiarkan semua orang masuk, terlepas apa pandangan mereka. Kita hanya dapat membantu seseorang jika memahami mereka,” kata Yassmine.
Kebijakan merangkul semua pihak diharapkan berdampak positif, ujar Mona Siddiqui, yang juga seorang pakar ilmu politik di Universitas Amsterdam, yang melakukan riset selama enam tahun tentang radikalisasi pemuda muslim di Amsterdam. “Kesempatan untuk membuat mereka menjadi moderat lebih besar ketika kita menerima mereka ketimbang bila kita membiarkan. Jika kita membiarkan mereka, mereka akan menjadi ekstremis.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar