" Islam seperti momok di Amerika. Dicurigai, diintimidasi, bahkan sempat dikucilkan, beberapa saat setelah peristiwa 11 September. Ulama-ulama Cina ternyata tak tinggal diam. Mereka berhasil mencuri perhatian penguasa Negeri Paman Sam, sehingga sampai perlu mengundang para akademisi muslim Cina untuk bersilaturahim ke Amerika. Sungguh, daya dobrak yang tak pernah diduga. Ada apa sih?? ".
Kita tahu, selama kampanye, kandidat presiden Amerika nampak enggan berdekatan dengan apa pun yang tampak muslim, dan lebih suka berkomentar buruk tentang Islam, kapan pun kamera televisi menyorot mereka atau setiap ada kesempatan.
Namun, tiba-tiba pemerintah AS mensponsori akademisi muslim Cina dari negara lain untuk mengunjungi Amerika, bertemu dengan komunitas muslim di sana dan menyaksikan bagaimana mereka tumbuh berkembang di lingkungan multi etnis Amerika.
Tentu ini sebuah kejutan. Tapi tak sedikit pula yang menganggap itu hanya bagian dari akan terlihat jelas strategi pemerintah AS, untuk membuat akademisi muslim dari luar negeri itu terkesan melihat perkembangan muslim Amerika dalam sistem politik negara tersebut.
Apapun alasannya, setidaknya ada upaya dari pemerintah AS untuk melihat kenyataan, bahwa dunia Islam itu ada di negerinya, dan memiliki potensi menjadi salah satu aset berharga bagi kebijakan politik luar negerinya, yang sering disorot ‘miring’ terhadap eksistensi Islam di dunia, khususnya di Semenanjung Arabia.
Saat memasuki Islamic Center di Detroit, salah satu imam dari propinsi Yunnan memperkenalkan dirinya.
“Saya Saleh Issa,” katanya.
“Apa bisa berbicara dalam bahasa Inggris?”
“Tidak,” jawabnya tegas.
“Apakah anda dapat berbicara dalam bahasa Arab?”
“Ya.”
Saat memasuki Islamic Center di Detroit, salah satu imam dari propinsi Yunnan memperkenalkan dirinya.
“Saya Saleh Issa,” katanya.
“Apa bisa berbicara dalam bahasa Inggris?”
“Tidak,” jawabnya tegas.
“Apakah anda dapat berbicara dalam bahasa Arab?”
“Ya.”
Mulailah ia berbincang dengan Shaikh Ali dari Canton, Shaikh Elturk dan Dawud Walid, keduanya ulama Amerika. Imam Saleh Issa a.k.a Zhang Jianhua adalah dekan Univeristas Islam Najiaying di baratdaya propinsi Yunnan. Ia mempelajari bahasa Arab di Pakistan, sangat fasih berbahasa Arab, dan seorang imam di Masjid Islam Xinhua.
Anggota lain dari kelompok yang diundang oleh departemen luar negeri adalah:
Suster Yan Qiong-Ying, asisten peneliti dari Departemen Studi Islam, Institut Agama Dunia, Akademi Ilmu Sosial China, Beijing. Ia telah mengunjungi India dan Pakistan untuk mempelajari kehidupan sosial muslim di negara-negara tersebut. Ia menunjukkan pengetahuannya tentang budaya Pakistan dengan mengatakan, “Allah Hafiz” ketika meninggalkan Islamic Center. Dr. Yang Wengjiong a.k.a Ibrahim. Ia adalah asisten profesor dari kampus Sejarah dan Budaya di Universitas Lanzhou, Pusat Penelitian Minoritas Barat Laut. Ahmadjan Hasan, seorang asisten peneliti dari Institut Studi Relijius, Akademi Ilmu Sosial Xinjiang.
Suster Yan Qiong-Ying, asisten peneliti dari Departemen Studi Islam, Institut Agama Dunia, Akademi Ilmu Sosial China, Beijing. Ia telah mengunjungi India dan Pakistan untuk mempelajari kehidupan sosial muslim di negara-negara tersebut. Ia menunjukkan pengetahuannya tentang budaya Pakistan dengan mengatakan, “Allah Hafiz” ketika meninggalkan Islamic Center. Dr. Yang Wengjiong a.k.a Ibrahim. Ia adalah asisten profesor dari kampus Sejarah dan Budaya di Universitas Lanzhou, Pusat Penelitian Minoritas Barat Laut. Ahmadjan Hasan, seorang asisten peneliti dari Institut Studi Relijius, Akademi Ilmu Sosial Xinjiang.
Para akademisi itu memberitahu bahwa jumlah muslim Cina pada tahun 2008 mencapai angka 20 juta jiwa (dari total populasi saat itu 1,32 miliar, atau sekitar 1.5% dari populasi Cina), dengan jumlah masjid lebih dari 30.000. Pelatihan imam dilakukan oleh beberapa institut selama 400 tahun terakhir, sebagian dari para imam adalah wanita. Imam wanita memimpin masjid yang didedikasikan khusus untuk melayani jamaah wanita.
Sembilan puluh sembilan persen muslim di negara itu beraliran Sunni dan mengikuti mazhab Hanafi. Terdapat sejumlah madrasah, namun kebanyakan pelatihan relijius anak-anak muslim dilakukan di masjid setelah jam sekolah berakhir.
Tantangan muslim Cina hampir sama dengan muslim Amerika, yaitu mempertahankan identitas Islam di tengah-tengah budaya nonmuslim.
Dalam pertemuan yang hangat itu, mereka juga terlihat asyik membahas soal serangan 11 September. Dr. Yang mengatakan, dalam pertemuan dengan berbagai kelompok muslim di Islamic Center, “Peristiwa itu tidak hanya mempengaruhi kalian tapi juga muslim di seluruh penjuru dunia. Kami juga bekerja keras, seperti halnya kalian, untuk menunjukkan bahwa muslim adalah pilar perdamaian di tiap negara.”
Sejarah Islam di China berawal dari 1300 tahun yang lampau. Dalam sebuah buku berjudul The Tao of Islam. Wang Daiyu, seorang akademisi muslim dari abad ke-17 menulis kalimat berikut ini mengenai Islam:
“Bercermin pada ajaran hebat (Islam) ini, kami melihat bahwa prinsip kebenaran telah disempurnakan dan diperinci. Ajaran ini menjangkau langsung ke akarnya, terutama mengklarifikasi tentang Yang Sebenarnya, memperlihatkan cahaya terang dari Tao yang sesungguhnya, dan menghapus segala kesalahan.”
“Bercermin pada ajaran hebat (Islam) ini, kami melihat bahwa prinsip kebenaran telah disempurnakan dan diperinci. Ajaran ini menjangkau langsung ke akarnya, terutama mengklarifikasi tentang Yang Sebenarnya, memperlihatkan cahaya terang dari Tao yang sesungguhnya, dan menghapus segala kesalahan.”
Di Cina, terdapat sebanyak lebih 140 juta penduduk dari 10 suku bangsa yang beragama Islam, termasuk etnik Huizu, Uygur, Kazakh, Kirgiz, Tajik, Uzbek, Tatar dan lain-lainnya. Penduduk Islam tinggal merata tempat di seluruh China, terutama di bagian barat laut, termasuk provinsi Gansu, Qinghai, Shanxi, wilayah otonomi Xinjiang, dan wilayah otonomi Ningxia. Tak heran jika Islam telah menjadi salah satu agama yang penting di Cina.
Agama Islam dipercayai berkembang di Cina pada tahun 651 Masehi, tepatnya pada zaman dinasti Tang.
Dinasti Tang merupakan salah satu dinasti yang paling makmur dalam sejarah Cina. Pada zaman itu, terdapat dua jalan dari ibu negara dinasti Tang ke negara Arab. Kedua jalan itu dikenal sebagai jalur sutera. satu jalur sutera darat, melalui bagian barat Cina, satu lagi jalur sutera laut melalui pelabuhan Guangzhou di Cina selatan, dan belayar melalui Asia Tenggara sampai ke negara Arab. Pada awalnya, jalur sutera darat lebih makmur, tetapi jalur sutera laut justru lebih ramai dan terkenal.
Agama Islam pada zaman dinasti Tang masih lemah, jumlah penganutnya kurang banyak, kebanyakan mereka adalah saudagar dari Arab yang tinggal di Cina, dan lebih kaya dari pada penduduk lokal. Ketika memasuki zaman Wudai, Cina utara sering berperang, dan Cina selatan lebih aman. Sehingga banyak penganut agama Islam berpindah ke Cina selatan. Pada zaman itu, agama Islam telah berkembang, banyak orang Cina juga menganut agama Islam.
Masjid pada zaman dinasti Tang dan Wudai masih mempunyai corak seni Arab dan belum menerima pengaruh seni tradisional Cina. Kebanyakan masjid pada zaman itu terletak di pelabuhan atau bandar, pusat politik dan ekonomi. Masjid Huaizheng di bandar Guangzhou, yang dibina pada dinasti Tang, dianggap sebagai masjid yang tertua di Cina. Masjid itu masih mempunyai corak seni Arab yang kental.
Pada zaman Dinasti Song, agama Islam dianggap lebih mulia oleh rakyat Cina. Tak heran, perkembangannya pun sangat pesat, semakin meluas. Tak hanya penduduk asli Cina yang beralih memeluk Islam. Banyak pula orang asing yang tinggal di bandar Guangzhou di provinsi Guangdong, dan bandar Quanzhou di provinsi Fujian, beragama Islam. Mereka berkumpul untuk mengaji, mendengarkan thausiyah di masjid tanpa gangguan. Bahkan sampai sekarang masih terus berlangsung.
Masjid sebagai pemersatu umat Islam, memang sangat terasa di Cina. Bahkan, masjid-masjid yang ada sekarang, sebagian besar masih merupakan peninggalan lama. Namun, masjid pada zaman Dinasti Song yang masih ada sekarang, sudah tidak banyak. Salah satu yang paling terkenal ialah masjid Qing Jing Si di bandar Quanzhou.
Zaman Dinasti Yuan merupakan era yang paling penting bagi perkembangan agama Islam di Cina. Agama Islam berkembang paling pesat dan paling makmur pada zaman itu, dan mempunyai kedudukan yang penting, baik arena politik, maupun kehidupan masyarakat. Saudagar yang menganut agama Islam bertambah pesat, dan penduduk Islam Cina banyak mengadakan hubungan dengan dunia Arab. Masjid di Cina pada zaman itu bertambah banyak, dan selain bercirikan seni Arab, reka bentuknya telah menerima seni Cina, banyak menggunakan kayu yang diukir.
Berbeda dengan dinasti sebelumnya, yang memberi keleluasaan Islam untuk berkembang di negeri Cina. Pada zaman Dinasti Ming, perkembangan agama Islam justru menemui banyak kerikil tajam. Maharaja pertama Dinasti Ming memandang rendah terhadap agama Islam. Baginda mengeluarkan perintah untuk melarang rakyat menyembelih lembu secara tersendiri, orang Islam tidak boleh menjadi pegawai kerajaan, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.
Kondisi ini, pastilah menimbulkan keresahan, bahkan meletupkan kemarahan umat Islam di Cina. Mereka mulai memberontak dengan mengadakan demonstrasi di ibu kota, namun tak berdaya menghadadi kekuatan sang penguasa. Akibat dari pemberontakan itu justru lebih mempersempit gerak umat Islam. Raja malarang perdagangan melalui jalur laut, semua kapal tidak diperbolehkan berlayar.
Di bagian utara, raja secara besar-besaran memperbaiki Tembok Cina. Tujuannya tak lain untuk memutuskan hubungan dan komunikasi antara umat Islam di Cina dan di Arab. Umat Islam di Cina terbelenggu, namun semangat dakwah tak pernah luntur. Demi tak dicurigai penguasa, masjid-masjid pun diubah coraknya. Identitas Arab dan Islam, disarukan dalam arsitektur Cina, sehingga cat dinding dan kayunya berwarna merah, dengan ukiran berwarna emas, khas Cina.
Sejak itu, Islam dan budaya Cina seperti bersatu. Bahkan, karena keterkungkungan tersebut, satu kelompok masyarakat membentuk satu etnik tersendiri, yaitu etnik Huizu yang beragama Islam. Dan, kini, etnik Huizu ini tumbuh sebagai masyarakat Islam terbesar di Cina.
Meski terbelenggu pada era Dinasti Ming, tak berarti Islam lenyap dari Negeri Tirai Bambu. Sebaliknya, justru semakin kuat, dan meluas. Ketika Dinasti Qing naik tahta, keadaannya berbalik. Islam yang terbelenggu, kembali menggeliat. Jika pada zaman Dinasti Yuan, jumlah penduduk Islam meningkat secara besar-besaran, di zaman Dinasti Qing, justru mutu agama Islam yang ditingkatkan secara besar-besaran.
Ibadah yang semula tertutup, kembali dilakukan secara terbuka. Pengajian dan majelis ilmu dibuka di setiap lingkungan masyarakat. Padahal aturan yang diterapkan pada zaman Dinasti Ming belum dicabut. Raja tetap membenci dan memandang rendah Islam. Akibatnya terjadi pemberontakan besar, dan terjadi sampai lima kali.
Di era ini, eksistensi Islam di Cina diuji berat. Larangan dakwah, justru menciptakan dakwah yang semakin terbuka. Larangan pengajian, malah memperbanyak pengajian di berbagai tempat. Kebudayaan Islam justru berkembang pesat di zaman dinasti ini. Umat Islam banyak memberikan sumbangan terhadap perkembangan sains dan teknologi. Kalender yang diciptakan umat Islam pernah digunakan di Cina pada zaman ini.
Tak hanya itu, alat pemandu arah angkasa yang diciptakan oleh seorang ahli ilmu falak, bernama Zamaruddin, saat itu sangat populer di Cina. Ilmu matematik yang dikembangkan dari Arab, telah pula diterima oleh orang Cina. Ilmu pengobatan Arab juga menjadi sebagian daripada ilmu pengobatan Cina. Umat Islam juga terkenal sebagai pembuat meriam yang andal. Bahkan tentara pemerintah, diam-diam menggunakan sejenis meriam yang dikenali sebagai buatan etnik Huizu, yang beragama Islam. Meriam itu tidak menggunakan bahan letupan, tetapi memakai batu sebagai peluru. Meriam itu sangat populer di Cina pada zaman itu.
Selain itu, orang Islam juga terkenal dengan tehnik pemintalan dan menenun sutera.
Sejak PRC (Partai Rakyat Cina) didirikan pada tahun 1949, agama Islam telah berkembang pesat. Kerajaan China mengamalkan dasar bebas agama. Meski tidak mendorong rakyat untuk beragama, tetapi semua agama yang sah dilindungi. Kerajaan juga menyediakan biaya untuk memperbaiki masjid, dan memberi dasar keutamaan kepada umat Islam. Misalnya sekarang, Cina menetapkan orang yang sudah mati harus dibakar. Tetapi kerajaan Cina menyediakan tanah khusus untuk pemakaman orang Islam.
Saat itu, anak-anak Islam lebih mudah masuk sekolah. Bahkan, kerajaan membangun sekolah menengah khusus untuk anak-anak Islam. Selain itu, kerajaan juga mendirikan pusat Islam dan rumah sakit Islam. Kerajaan juga memberi bantuan kepada masjid dan persatuan Islam untuk memperbaiki bangunan, serta biaya harian.
Kini, di era pemerintahan yang sedikit lebih terbuka, ulama-ulama Cina pun telah bebas mengembangkan diri. Mereka belajar ke berbagai negeri, seperti Yaman, Arab Saudi, Pakistan, bahkan sampai ke Al-Azhar, Mesir. Sekarang, bahkan, para ulama besar Cina, telah mampu mendobrak dinding kesombongan Amerika, sehingga penguasa super power itu, tergerak untuk mengundang mereka hadir di tengah umat Islam di bumi Paman Sam.
Di Cina sendiri, pemerintah juga tak takut lagi untuk mendukung perkembangan Islam. Misalnya, saat masjid Niujie, yaitu masjid tertua dan terkenal di Beijing merayakan ulang tahun ke-1000, penguasa memberi dana beberapa juta Yuan, untuk mempercantik masjid bersejarah itu. Kawasan Islam di Beijing, dalam distrik Xuanwu, telah direnovasi. Pemerintah menyediakan rumah baru kepada penduduk Islam, sehingga perkampungan itu semakin indah, bahkan menjadi salah satu obyek wisata religius yang terkenal di Cina.
“Banyak kemajuan yang dicapai umat Islam di Cina. Tak hanya jumlah pemeluknya, tetapi juga kualitas ibadahnya. Dahulu, umat Islam Cina tidak mampu menunaikan ibadah haji, karena kesulitan biaya dan aturan yang ketat. Sekarang, banyak orang Cina pergi haji. Pemerintah telah banyak memberikan kemudahan, sehingga biaya menjadi murah,” kata Dr. Yang di Amerika.
Sekarang, tambahnya, umat Islam di Cina tidak lagi dianggap duri dalam daging. Umat Islam adalah warga negara yang mampu bekerja dalam berbagai bidang, kami bersatu-padu dengan masyarakat lain untuk memberi sumbangan yang besar terhadap pembangunan negara.
“Kami memang masih minoritas. Tapi pemerintah telah membuka diri, dan berkomitmen untuk menjaga Islam, seperti anak kandung lainnya,” kata Shaikh Elturk bijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar